FIAT JUSTICIA ET PEREAT MUNDUS

25 Februari 2008

BTJ: Antara Ketidakcocokkan dan Ketidaksiapan

Ada yang ga ngerti BTJ itu apa? Itu lho Bis Trans Jogja. Bis ini adalah program baru ciptaan Pemda Jogja. Diharapkan moda transportasi ini mampu menjawab permintaan angkutan massal yang nyaman. Itu harapannya.
Nah, kemarin iseng-iseng saya coba naik BTJ dari halte Kopma UGM ke Giwangan. Pokoknya muter-muter deh ngikutin hasrat kampungan saya yang lagi mode on. Sepanjang jalan emang sie bisnya keren maklum masih baru dan lagi ber-AC. Kopata aja kalah jauh deh. Hehehehe.....nuwun pangapunten, pak sopir kopata.
Tapi yang jadi perhatian dan grundelan saya sepanjang jalan adalah sepertinya jogja dan masyarakatnya belum siap dengan program ini. Bagaimana tidak. Coba saja lihat di dalam bus. Ada larangan untuk membawa makanan ke dalam bus tidak dipatuhi oleh para penumpang. Mereka bertindak semaunya sendiri bahkan berkelakuan seperti di rumahnya sendiri. Makan, minum, bahkan duduk semaunya sendiri mulai kaki diangkat lah, sampai bersila. Gila. Saya ngedumel dalam hati "kenapa ga bawa tikar atau karpet aja sekalian jadi serasa piknik". Wah, untung emosi saya tahan kalo ga bisa berabe. Nah itu baru satu gerundelan saya.
Kedua, kayaknya jogja ga cocok deh sama model transportasi kayak gini. Gimana nggak? Lihat aja jalan-jalan di jogja kan ga begitu besar buat kendaraan biasa aja masih agak ribet (tapi masih lebih ruwet jakarta). Jalan-jalan yang kemari saya lewati dengan BTJ jalur 3B ternyata jalan perkampungan yang sempit walaupun sudah diaspal. Udah gitu haltenya kecil dan kurang nyaman.
Temen saya sempat berpendapat,"udah lah ga perlu bikin bus kayak gini, bikin yang biasa aja tapi mesti berhenti di tiap halte yang udah ada jadi ga perlu bikin yang aneh-aneh". Udah gitu destination halte ga jelas. Ga kayak busway di jakarta sana yang tiap halte ada penunjuknya jadi memudahkan masyarakat.
Saran saya buat operator bus dan yang punya proyek kalo bisa perbanyak haltenya biar bisa menjangkau masyarakat trus kalo bisa juga di tiap halte ada loket tiket jadi ga perlu repot kalo mau beli tiket. Lalu berikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar mereka bisa berlaku yang sepatutnya di dalam bus. Jadi ga malu-maluin. Apalagi jogja kan kota wisata yang terkenal seantero jagad. Setuju ga, pak gubernur?

19 Februari 2008

AKU


aku adalah aku
yang selalu mengingatmu

aku adalah aku
dengan semua tentangku

aku adalah aku
yang selalu menatap ke depan
tanpa pernah melupakan apa yang telah ada dibelakangku

aku adalah aku
yang selalu mengharap ridho-Mu

aku adalah aku
yang selalu mengharap cintamu

aku adalah aku
yang selalu menjadi diriku

aku adalah aku
bukan kamu atau kamu

aku adalah aku
dengan segala keegoisanku

aku adalah aku
dengan segala keakuanku

18 Februari 2008

Menanti Polisi Indonesia yang Bermartabat?

Polisi adalah salah satu alat kelengkapan negara kita. Mereka bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Abdi Negara, Pengayom Masyarakat itulah motto mereka. Tapi parahnya sebagian oknum polisi lebih senang menjadi pemerkosa hak rakyat dibanding mengayominya.
Saya sempat geli melihat berita di sebuah koran nasional hari ini. Ada seorang pemuda yang dicokok oleh para reserse karena dianggap sebagai bandar narkoba. Bahkan ia sempat dipukuli oleh para reserse di depan ibu kandungnya. Masalah tidak berhenti di situ. Di Mapolres ia kembali dihajar habis-habisan dan dijebloskan ke sel selama berhari-hari. Belakangan diketahui bahwa yang menjadi bandar narkoba sebenarnya adalah teman pemuda itu dan ia samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan aktivitas temannya itu. Ia akhirnya dibebaskan dengan menyandang trauma psikologis. Miris rasanya melihat dan mendengar polisi kita malah menyiksa rakyat.
Ada seorang sopir taksi, masih dalam berita itu juga yang mengajukan pendapat yang unik dan polos tentang polisi. "Mungkin kalau polisi tidak ada, rakyat akan lebih tenteram". Kenapa bisa muncul komentar seperti itu? Contoh di atas tadi agaknya bisa dijadikan alasan. Hal lain karena latar belakang si sopir tadi yang punya pengalaman buruk ketika berurusan dengan polisi.
Ada lagi cerita polisi yang menjadi beking orang-orang besar yang biasanya bermain di bisnis hitam. Sebutannya hopeng atau hao peng yang artinya 'sahabat dekat'. Ya sahabat dekat. Karena peran hopeng itulah mereka bisa bebas menjalankan bisnis mereka dan bila ada masalah tinggal telepon dan masalah pun beres. Tentang hal beking ini tidak disangkal oleh para pejabat Polri. Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri bahkan membenarkan adanya hal itu secara terang-terangan.
Polisi bertindak tidak berdasarkan aturan yang harusnya ia tegakkan? Agaknya itu betul. Saya pernah ditilang di Jalan Raya Magelang karena melanggar lampu merah. Saya akui saya salah tapi si polantas malah memanfaatkan kesalahan saya untuk minta uang "damai". Saya sempat minta agar diberikan resi tilang dan diurus di pengadilan tapi ia menolak dan meminta saya membayar Rp 50000. Wow! Ada lagi ketika teman saya melanggar marka jalan di Jln. Jend. Soedirman, Jakarta, si polantas tanpa basa-basi memberikan price list seperti di rumah makan. Di situ tertulis berapa "denda" yang harus dibayar bila melanggar dan tentunya akan masuk ke kantongnya sendiri.
Tindakan oknum-oknum ini tampaknya membuat Kapolri gerah. Beliau sempat memberi briefing kepada 800-an reserse se-Indonesia selama beberapa hari. Agaknya ini menjadi salah satu usaha untuk mengubah citra polisi. Citra polisi sebenarnya sempat membaik saat berhasil mengungkap kasus-kasus besar seperti terorisme, narkoba, dan sebagainya. Hal ini patut diacungi jempol tapi harus diingat jangan sampai prestasi itu membuat polisi lupa daratan. Prestasi itu harus ditingkatkan lagi dan profesionalisme personil harus ditingkatkan. Ini penting agar dapat menjalankan motto "Abdi Negara, Pengayom Masyarakat" dengan baik.

17 Februari 2008

gubernur yang aneh

pagi ini ketika baca koran, saya melihat sebuah berita besar. bagaimana tidak? fauzi bowo ( yang jelas ga punya hubungan dengan fauzi baadillah), gubernur jakarta yang katanya merakyat itu, melontarkan satu gagasan konyol......memajukan jam sekolah untuk mengatasi kemacetan jakarta. katanya gagasan "gebleg" ini sudah dikaji dan bisa menurunkan angka kemacetan di "rush hour" sebesar 12%. gila juga ini orang. gawe peraturan sak karepe dhewe ( bikin peraturan semaunya sendiri). mahasiswa aja yang kuliah pagi berjuang setengah mati buat datang ke kampus. nah, ide tolol itu dimentahkan oleh kalangan pakar amrik yang bilang memajukan jam belajar/ jam sekolah bisa mengganggu waktu istirahat anak dan bisa berdampak pada psikologi anak. kata mereka lagi, amrik sedang mengusahakan agar jam sekolah dimundurkan dari jam o7.15 jadi 08.40. nah lho!

Menuntaskan Kasus Soeharto

Soeharto telah wafat. Namun, the smiling general itu terus menimbulkan kontroversi. Hal yang dimaksud adalah penuntasan kasus hukumnya oleh pemerintah. Ia dituduh melakukan korupsi saat ia berkuasa. Tentu saja hal itu hal itu belum tentu benar. Ia pun belum tentu salah. Padanya berlaku asas presumption of innocent, asas praduga tak bersalah. Ia dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tapi kasus pidana itu pun akhirnya batal demi hukum karena si tersangka wafat.
Pemerintah kini memfokuskan pada aspek hukum perdata. Pemerintah mencoba menarik kembali uang negara yang selama ini diduga ada di yayasan-yayasan milik Soeharto. Wafatnya Soeharto tidak membuat kasus perdata berhenti karena ahli warisnya dapat melanjutkan untuk mewakilinya.
Sebagian masyarakat menghendaki agar semua kasus hukum Soeharto ditutup atas dasar kemanusiaan dan mempertimbangkan jasanya pada bangsa dan negara. Hal ini dapat dimengerti karena menurut mereka Soeharto memberi mereka hidup enak. Subsidi BBM, sembako murah, ekonomi stabil, stabilitas nasional terjamin. Lain dengan pemerintah sekarang yang cenderung menyengsarakan rakyat.
Harusnya pemerintah bersikap arif dan bijaksana dalam hal ini. Berikan penjelasan pada masyarakat agar masyarakat paham bahwa yang pemerintah tuntut adalah uang rakyat agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sekali lagi kita harus bersabar menunggu apa yang akan terjadi dan sekali lagi kita mohon kepada pemerintah agar bertindak arif dan bijaksana.

16 Februari 2008

Apa Kabar BHMN?

Sebenarnya apa yang ada di benak pemerintah saat mengeluarkan kebijakan soal perubahan status beberapa PTN menjadi BHMN? Liberalisasi pendidikan, peningkatan mutu, atau untuk menutup akses bagi rakyat miskin untuk memperoleh pendidikan? Kalau peningkatan mutu sebagai jawabannya tampaknya hanya isapan jempol karena mutu PTN kita masih jauh dari apa yang diharapkan dan tampaknya pengelola PTN hanya sekedar mengejar untung dengan menaikkan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang terjadi tiap tahun dengan jumlah nominal yang fantastis. Mereka beralasan peningkatan itu untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menambah dan melengkapi fasilitas pendidikan. Namun tidak ada transparansi sama sekali seperti yang diamanatkan UU BHMN. Padahal uang yang mereka gunakan untuk meningkatkan mutu akademik adalah uang rakyat yang harus dilaporkan penggunaannya secara berkala kepada pemerintah, peserta didik dan rakyat indonesia.
Kini setelah berjalan sekian lama muncul lagi suatu RUU buatan pemerintah soal Badan Hukum Pendidikan (BHP). Peraturan ini makin menambah ruwet dunia pendidikan indonesia. Bagaimana tidak? Hal yang diatur dalam RUU ini juga tidak jelas. Kalau ingin mengatur tentang lembaga pendidikan sudah ada UU BHMN dan sederet peraturan lain. Kalau untuk mengatur guru dan dosen sudah ada UU Guru dan Dosen. Lalu apa yang diatur dalam (R) UU ini? Ada yang mengatakan (R) UU ini sebaiknya dibatalkan saja karena konsideran dan hal yang diatur tidak jelas dan makin mengacaukan dunia pendidikan Indonesia yang memang sudah kacau.
Belum terlambat bagi pemerintah untuk meninjau ulang semua kebijakan di bidang pendidikan. Kalau perlu cabut semua peraturan yang tidak memihak rakyat. Termasuk dalam list untuk dicabut adalah UU BHMN. Atau ganti saja menteri pendidikan yang sangat keras kepala itu. Toh ia hanya menyengsarakan rakyat dengan sederet peraturan yang tidak perlu. Nah, pertanyaannya sekarang : beranikah pemerintah?